Sekarang, meskipun rumah nempel sama pagar sekolah tidak serta merta otomatis keterima kalu nilai tidak mencukupi
Tak terasa, gelaran PPDB 2024 telah berlalu satu tahun. Dalam hitungan minggu, kita kembali akan dihadapkan pada agenda tahunan yang tak pernah absen dari kalender pendidikan nasional, penerimaan peserta didik baru.
Namun, ada beberapa hal yang berbeda pada penerimaan tahun ini. Mulai dari perubahan istilah “Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)” yang kini menjadi “Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB)”, hingga dihapuskannya istilah “zonasi” yang selama ini begitu akrab di telinga masyarakat. Perubahan regulasi ini sejatinya sangat penting diketahui oleh orang tua, calon murid, dan masyarakat luas.
Namun, hingga saat ini, masih banyak yang beranggapan bahwa petunjuk teknis penerimaan murid baru tahun ini sama saja dengan tahun sebelumnya.
Padahal, seperti biasa, agenda penerimaan murid baru adalah hajat besar bagi setiap sekolah. Besar pula kesabarannya, dan tak kalah besar potensi terjadinya penyimpangan, terutama ketika niat orang tua murid ingin memuluskan langkah anaknya tak sejalan dengan aturan yang ada.
Sering kali, konflik yang terjadi di meja helpdesk justru berawal dari rendahnya literasi masyarakat terhadap regulasi penerimaan murid baru. Pola ini nyaris selalu berulang setiap tahun.
Banyak pendaftar yang tidak membaca juknis secara menyeluruh. Akibatnya, proses pendaftaran menjadi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dan, sayangnya, ujung-ujungnya sekolah yang disalahkan. Sekolah dianggap menyulitkan pendaftar, padahal faktanya, sekolah hanyalah pelaksana teknis, bukan perumus kebijakan.
Tidak Ada Lagi Zonasi
Jangan harap Anda menemukan kata zonasi dalam regulasi Sistem Penerimaan Murid Baru tahun ini. Ya, jalur zonasi resmi dihapus dari sistem penerimaan murid baru tahun 2025.
Lalu bagaimana dengan yang bilang, “Kan sekarang ada jalur domisili yang menggantikan zonasi?” Sekilas memang terdengar mirip, sama-sama berakar pada konsep tempat tinggal.
Namun, mari jangan terburu-buru menyamakan keduanya. Jalur domisili sesungguhnya sangat berbeda dengan jalur zonasi yang kita kenal selama ini.
Jangan harap Anda yang rumahnya tepat di balik pagar sekolah bisa langsung diterima otomatis. Dalam sistem baru ini, spirit jalur domisili bukan lagi soal jarak atau radius rumah ke sekolah. Justru, yang menjadi sorotan pertama adalah kemampuan akademik, berdasarkan nilai pada ijazah atau Surat Keterangan Lulus (SKL).
Perubahan ini diatur secara tegas dalam Pasal 43 Ayat (3), halaman 20 Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025. Dalam aturan tersebut ditegaskan, jika jumlah pendaftar melalui jalur domisili melebihi kuota, maka seleksi akan mempertimbangkan kemampuan akademik, jarak tempat tinggal, dan usia, dalam urutan tersebut.
Hal ini bukan sesuatu yang sepele. Ini sangat-sangat penting untuk dicermati. Jalur domisili bukanlah nama baru dari jalur zonasi. Ini bukan sekadar ganti bungkus. Ini adalah perubahan paradigma seleksi.
Zonasi selama bertahun-tahun menggunakan jarak tempat tinggal sebagai indikator utama seleksi ketika pendaftar membludak. Kini, logika itu sudah tidak berlaku lagi.
Jalur domisili secara tegas menempatkan nilai akademik sebagai kriteria pertama dan utama. Artinya, seleksi pertama dilakukan dengan melihat nilai yang tertera pada ijazah atau SKL. Barulah jika ada dua atau lebih pendaftar dengan nilai yang sama, maka jarak rumah ke sekolah akan menjadi faktor berikutnya yang dipertimbangkan.
Memang, tidak sepenuhnya semangat zonasi dihapus. Masih ada unsur keberpihakan pada pendaftar dari wilayah tertentu. Pendaftar jalur domisili tetap harus berasal dari domisili yang sesuai dengan ketetapan pemerintah. Jadi, aspek pemerataan akses pendidikan tetap dipertahankan.
Hal ini diperkuat dalam penjelasan Pasal 1 Ayat (20), Bab I Ketentuan Umum Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025, yang menyebutkan bahwa pendaftar jalur domisili adalah mereka yang bertempat tinggal dalam wilayah yang telah ditetapkan.
Catat baik-baik, ya, Bapak/Ibu orang tua, dan juga adik-adik calon pendaftar SPMB 2025, saat ini telah terjadi perubahan penting dalam regulasi.
Jalur zonasi sudah dihilangkan, dan digantikan dengan jalur domisili. Ini bukan cuma pergantian istilah. Ini perubahan logika seleksi. Indikator pertama adalah nilai akademik. Jarak tempat tinggal hanya digunakan sebagai penentu bila nilai akademik dua pendaftar atau lebih ternyata sama.
Selamat Tinggal Zonasi
Saya percaya, sistem yang sekarang jauh lebih berkeadilan. Jika pada tahun-tahun sebelumnya jalur zonasi menempatkan jarak sebagai satu-satunya indikator seleksi awal, maka pada sistem domisili ini, pemerintah telah menetapkan kemampuan akademik sebagai indikator pertama dan utama.
Sistem ini bahkan mengingatkan kita pada mekanisme lama, semacam DANEM, yang pernah diberlakukan lebih dari satu dekade silam.
Bedanya, jalur domisili tidak bisa diakses oleh semua siswa dari berbagai wilayah. Hanya siswa yang berdomisili sesuai dengan ketetapan pemerintah sajalah yang berhak mendaftarkan diri melalui jalur ini.
Tentu saja ini kabar baik, terutama bagi para orang tua, siswa, dan masyarakat yang pernah merasa kecewa dengan sistem zonasi sebelumnya.
Terlalu banyak kisah tentang anak-anak yang tersisih bukan karena kurangnya semangat atau prestasi, tapi semata karena jarak rumah yang kalah dekat.
Salah satunya adalah keponakan saya sendiri, yang harus tereliminasi dari PPDB hanya karena selisih beberapa meter dari pendaftar lain yang kebetulan lebih dekat ke sekolah.
Dengan sistem domisili ini, saya melihat ada semangat baru yang ditanamkan, sebuah penghargaan terhadap jerih payah belajar. Anak-anak akan lebih terpacu untuk tetap berusaha meraih nilai terbaik, meskipun rumah mereka hanya berjarak selemparan batu dari pagar sekolah.
Sangat berbeda dengan sistem zonasi yang pernah berlaku. Ibarat kata, dulu siswa bisa bersantai-santai tanpa perlu belajar keras, asal alamatnya sudah cukup “strategis”, di balik pagar sekolah, misalnya. Lolosnya tinggal menunggu waktu. Tapi sekarang? Jangan harap.
Meski seorang siswa berada di dalam radius terdekat, bahkan seandainya rumahnya menempel langsung pada tembok sekolah, jika nilai akademiknya tak kompetitif, maka dia tetap berpeluang besar untuk tergeser oleh mereka yang punya nilai lebih tinggi.
Dengan sistem ini, setidaknya kita mulai bisa mengikis satu kalimat asal-asalan yang sering kita dengar dan, ironisnya, sering terbukti benar, “Untuk apa belajar? Rumah kita kan di belakang sekolah, pasti masuk.” Nah, sekarang, jangan harap!
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Selamat Tinggal Jalur Zonasi”
Tinggalkan Komentar